News & Research

Reader

Pasar Cenderung Reli di Desember, Peluang di Tengah Tren Penurunan Mingguan - Ashmore
Sunday, December 04, 2022       08:54 WIB

Ipotnews - Bursa saham Indonesia mengakhiri sesi perdagangan awal Desember, Jumat (2/12), denan membukukan penurunan tipis IHSG sebesar 0,02% (2 poin) di posisi 7.019, namun lebih rendah dibanding sesi penutupan akhir pekan sebelumnya di level 7.053. Investor asing membukukan aliran masuk ekuitas sebesar USD57 juta dalam seminggu terakhir.
PT Ashmore Asset Management Indonesia mencatat beberapa peritiwa yang mempengaruhi pergerakan dana di pasar modal dalam dan luar negeri, antara lain;
o Tingkat pengangguran di AS meningkat sebesar 0,2% menjadi 3,7% pada Oktober 2022, naik dari level terendah 29 bulan pada September lalu sebesar 3,5%, dan sedikit di atas ekspektasi kenaikan 3,6%. Tingkat pengangguran berada di kisaran sempit 3,5% hingga 3,7% sejak Maret.
o Perekonomian Kanada kuartal III 2022, tumbuh 2,9% yoy, mengalahkan perkiraan pertumbuhan 3,2%, dan menandai pertumbuhan lima kuartal berturut-turut.
o Perkiraan awal tingkat inflasi tahunan Zona Euro turun menjadi 10% pada November 2022 dari rekor tertinggi 10,6% pada Oktober, mengalahkan prakiraan 10,4%.
o Surplus perdagangan Jerman turun menjadi 5,3 miliar euro pada Oktober 2022 dari 12,5 miliar euro setahun sebelumnya. Berdasarkan penyesuaian musiman, surplus perdagangan Jerman meningkat menjadi 6,9 miliar euro dari 2,8 miliar euro yang direvisi turun pada September. Ekspor turun 0,6%, impor turun 3,7%.
o PMI Manufaktur Umum Caixin China secara tak terduga naik tipis menjadi 49,4 pada November 2022 dari 49,2 pada Oktober, di atas perkiraan 48,9. Aktivitas pabrik menurun selama empat bulan berturut-turut, di tengah gelombang baru kasus Covid dan pembatasan ketat di banyak bagian negara.
o Indeks kepercayaan konsumen Jepang turun menjadi 28,6 pada November 2022, terendah sejak Juni 2020, dari 29,9 sebulan sebelumnya, di tengah melonjaknya harga dan meningkatnya hambatan global.
o Tingkat inflasi tahunan Indonesia turun ke level terendah tiga bulan sebesar 5,42% pada November 2022, dari 5,71% di Oktober, di bawah konsensus sebesar 5,5%. Namun tingkat inflasi masih berada di atas batas atas target bank sentral 2-4% selama enam bulan berturut-turut
Dengen mencermati perkembangan selama sepekan terakhir, berikut pendapat Ashmore dalam Weekly Commentary, (Jumat 2/12);
Tren laju inflasi?
Ashmore mencatat, sepanjang pekan ini kita memiliki beberapa data inflasi dari Kawasan Eropa, Jerman, Korea, serta Indonesia. Sebagian besar wilayah yang melaporkan data inflasi menunjukkan angka yang sama atau lebih rendah dari sebelumnya, mendukung pandangan bahwa inflasi sedang memuncak atau sudah memuncak di sebagian besar perekonomian.
"Laju inflasi yang lebih lambat merupakan sinyal positif bagi suku bunga global untuk melambat dalam beberapa bulan mendatang. Pasar mengantisipasi pergerakan suku bunga AS di bulan Desember menjadi kenaikan 50 bps dari kenaikan sebelumnya 75 bps," tulis Ashmore.
Bagaimana dengan Indonesia?
Pekan ini indeks IHSG sempat beberapa kali melayang di sekitar level psikologis 7000. Namun terlepas dari itu, indeks tetap berada dalam tren penurunan mingguan selama beberapa minggu terakhir.
Menurut Ashmoe, beberapa faktor yang menyebabkan penurunan IHSG akhir-akhir ini antara lain aksi  profit taking  para investor, khususnya di sektor perbankan, mengingat beberapa saham perbankan mencapai level  all-time high -nya masing-masing. Selain itu, berakhirnya periode "penguncian" baru-baru ini menyebabkan harga saham anjlok selama dua hari dan mencapai titik terendah sepanjang masa.
Bobot dalam indeks IHSG telah turun secara signifikan karena kondisi UST yang meningkat dan tekanan terhadap saham teknologi. Per 2 Des 22, bobot tidak lagi berada di 5 besar IHSG , dengan bobot hanya 3,8% vs 4,4% per 31 Okt 22. Oleh karena itu, dampak negatifnya tetap ada, namun terbatas.
"Berdasarkan kinerja historis IHSG dalam 12 tahun terakhir, pasar cenderung  rally  di bulan Desember dengan  return  rata-rata +3,26%," ungkap Ashmore.
Oleh karena itu, meskipun penurunan harga mungkin tampak menyakitkan, hal itu juga menghadirkan peluang bagi investor. "Dan untuk alasan itu, kami terus memiliki pandangan yang kuat tentang ekuitas sebagai aset lindung nilai inflasi. Kami terus mengawasi pergerakan di pasar obligasi karena kami mengantisipasi puncak suku bunga pada tahun 2023." (Ashmore)

Sumber : admin

powered by: IPOTNEWS.COM