Kejatuhan Peringkat Kredit Korporasi Ancam Booming Utang Asia
Friday, March 27, 2020       10:31 WIB

Ipotnews - Serangan wabah virus korona mengguncang pasar kredit di seluruh dunia, menempatkan Asia dalam ancaman beban utang.
Asia telah memimpin pertumbuhan ekonomi dunia selama beberapa tahun dengan dibantu utang sebagai 'bahan bakar' pembangunan bandara, jembatan dan menara apartemen di kota-kota Asia. Model pembangunan seperti itu melawan tekanan lonjakan biaya pinjaman yang belum pernah terjadi sebelumnya, karena investor terus menumpuk dananya ke dalam surat-surat utang berisiko.
"Sekarang semua dana itu bergerak pulang," kata Charles Macgregor, kepala Asia di Lucror Analytics, perusahaan riset independen di Singapura yang berfokus pada surat utang berimbal hasil tinggi, seperti dikutip Bloomberg, Jumat (27/3). Dia memberi penilaian negatif terhadap perusahaan industri Cina dan pengutang berimbal hasil tinggi Indonesia dan India.
Pemegang obligasi sekarang berlomba untuk melepas posisi mereka, setelah mengambil untung dari lompatan 140% surat utang dolar  junk-rate  Asia yang diterbitkan tahun 2019.  Spread  imbal hasil telah melonjak ke level tertinggi 10-tahun, penerbitan baru telah jauh melambat dan analis di Goldman Sachs Group Inc. memperkirakan akan terjadinya lonjakan kasus  default. 
Perubahan drastis dari  boom  ing  menjadi  bust  ing  terjadi dengan cepat bahkan dalam standar pasar global saat ini. Melemahnya mata uang Asia memberi tekanan tambahan pada perusahaan yang meminjam dalam dolar. Kedalaman dan luasnya tekanan akan tergantung pada penyebaran wabah dan upaya pemerintah untuk mencegah depresi ekonomi.
Namun beberapa sektor usaha telah kehabisan waktu. Sekitar 40% dari USD11,4 triliun obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan Asia akan jatuh tempo sebelum akhir 2021, termasuk sekitar USD23 miliar tagihan yang akan datang tahun ini.
Sementtara itu, para pengelola keuangan yang pernah tergoda oleh imbal hasil tinggi sudah kehilangan selera terhadap aset berisiko. Menurut Institute of International Finance, sejak 20 Februari lalu, para investor telah menarik lebih dari USD34 miliar dari dana obligasi korporasi. Situasi saat ini, kata Xavier Jean, direktur senior peringkat perusahaan S&P Global Ratings, memunculkan kembali kekhawatiran Krisis Keuangan Asia 1997.
Namun pandemi Covid-19 memaksa perusahaan untuk meningkatkan batas kredit, dan bahkan dihantui ketakutan akan penurunan yang berkepanjangan dengan nuansa depresi. Sinyal peringatan awal tekanan di Asia, sudah muncul pada perekonomian Singapura yang mengalami kontraksi terbesar dalam satu dekade pada kuartal pertama tahun ini.
Gejolak pasar kredit menambah risiko bagi kawasan yang telah mengalahkan kawasan lain, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 5,3% pada tahun lalu. Larangan bepergian dan  lockdown  menghentikan aktivitas ekonomi dan menghambat ekspor.
Meskipun pasar obligasi domestik di Asia telah menjadi lebih kuat dan sistem perbankan lebih sehat, namun sektor korporasi masih goyah. Di Indonesia, Thailand dan Singapura khususnya, nilai mata uang domestik telah kehilangan setidaknya 7% terhadap dolar pada tahun ini.
Utang perusahaan Indonesia terbilang paling rentan, setelah rupiah anjlok hingga 15%, dan pasar obligasi lokal melemah. Dalam sebulan terakhir, S&P telah menurunkan atau mengubah penialiannya untuk enam perusahaan Indonesia menjadi negatif, dengan total utang senilai USD3,2 miliar. PT Medco Energi Internasional Tbk () termasuk di antaranya, dengan profil kredit yang semakin lemah selama perang harga minyak terus berlangsung.
Namun demikian, China tetap sebagai "gajah di ruangan," kata Alicia Garcia Herrero, kepala ekonom Asia-Pasifik di Natixis SA. China menyumbang sekitar seperempat dari total utang korporasi dunia, dan di antara para debitor yang tertekan bahkan merupakan pemain yang lebih besar. Sebuah laporan tahun lalu menyebutkan, sekitar 40% dari utang paling berisiko di dunia ditanggung oleh korporasi China.
Pengembang China, termasuk China Evergrande dan Kaisa Group Holdings Ltd., adalah penerbit  junk bond  terbesar di Asia yang menyumbang sekitar 48% di pasar tersebut. Wabah virus korona membuat penjualan terhenti, mengeringkan pembiayaan jangka pendek yang diandalkan industri.
Perusahaan-perusahaan yang paling tertekan di kawasan ini tidak bisa menunggu pemulihan dalam tempo yang lama. Di antara peminjam Asia-Pasifik dengan imbal hasil di atas 15%, obligasi mata uang dolar yang akan jatuh tempo sebelum akhir tahun ini mencapai USD23 miliar, menurut data yang dikumpulkan Bloomberg.
Termasuk di antaranya adalah perusahaan mobil India Tata Motors, dengan obligasi dolar yang jatuh tempo pada bulan April, dan China Evergrande Group, salah satu pengembang dengan utang terbesar di China, dengan utang bersih senilai USD88,5 miliar pada Juni. PT Garuda Indonesia Tbk, () , juga memiliki utang USD500 juta yang akan jatuh tempo pada bulan Juni nanti, ketika banyak perjalanan udara global terhenti.
Mereka semua akan membayar mahal untuk mendapatkan dana pembiayaan kembali atau pun untuk mengakses modal baru.  Spread   junk bond  Asia telah melonjak lebih dari 700 basis poin tahun ini, tertinggi sepuluh tahun, menurut indeks Bloomberg Barclays.(Bloomberg)

Sumber : Admin