JAKARTA, investor.id - Bursa Efek Indonesia (BEI) berencana mengeluarkan lima persyaratan alternatif bagi korporasi agar bisa tercatat di papan utama dan pengembangan. Persyaratan ini untuk mengakomodasi perusahaan teknologi berstatus unicorn yang berencana mencatatkan sahamnya di BEI.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna menjelaskan, BEI melalui Peraturan I-A mewajibkan calon perusahaan tercatat untuk sudah membukukan laba usaha dalam satu tahun terakhir agar dapat tercatat di papan utama. Peraturan ini tidak sesuai dengan karakteristik perusahaan yang terus berkembang belakangan, seperti halnya perusahaan teknologi.
"Misalnya perusahaan yang karakteristiknya masih fokus meningkatkan market share dan belum laba, tetapi valuasinya besar dan berpotensi untuk jadi salah satu biggest fund raiser di pasar modal Indonesia," ujar dia dalam keterangan tertulis.
Karena itu, bursa bersikap adaptif terhadap kebutuhan korporasi, termasuk unicorn di Indonesia supaya unicorn bisa memanfaatkan pasar modal sebagai sumber pendanaan mereka. Menurut rencana, bursa akan memperkenalkan lima persyaratan alternatif sebagai pintu masuk untuk tercatat di papan utama dan papan pengembangan.
Selain penyesuaian persyaratan di papan utama, bursa juga sedang menyusun peraturan mengenai multiple voting share (MVS) atau Saham dengan Hak Suara Multipel ( SHSM ). Peraturan ini dibuat untuk menjaga pengendalian dari para founders yang merupakan tokoh penting dalam sebuah perusahaan.
Melalui peraturan ini, tokoh penting tersbeut bisa tetap menjadi pengendali dan memiliki kekuasaan untuk mewujudkan misi perusahaan secara jangka panjang, meski persentase kepemilikannya kecil. "Peraturan SHSM di pasar modal Indonesia saat ini sedang disusun dan dibahas agar nantinya dapat dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan yang memang diperkenankan menerapkan SHSM dalam struktur permodalannya," kata dia.
Adapun SHSM merupakan jenis lain dari saham dengan kelas berbeda. SHSM ini memiliki hak suara lebih dari satu, artinya pemegang SHSM memiliki hak suara yang lebih tinggi dari porsi kepemilikannya, bergantung rasio voting power setiap struktur SHSM tersebut.
SHSM ini bukanlah hal baru di dunia bisnis maupun bursa efek. Di bursa Amerika Serikat, Nasdaq terdapat Alphabet ( holding dari Google) yang memiliki tiga kelas saham berbeda dengan voting power yang berbeda pula. Hong Kong Stock Exchange ( HKEX ) juga telah mengatur tentang SHSM yang dikenal sebagai Weighted Voting Right (WVR) yang telah membuat Alibaba pulang kampung.
Sebelumnya, Alibaba melakukan penawaran umum perdana ( initial public offering /IPO) saham pada 2014 sebesar US$ 21,8 miliar dan listing di New York Stock Exchange ( NYSE ). Kemudian, Alibaba melakukan secondary listing di HKEX senilai US$ 11 miliar pada 26 November 2019.
Sambut Baik
Di sisi lain, Indonesia Fintech Society (IFSoc) menyambut baik langkah berbagai perusahaan teknologi Indonesia untuk melakukan IPO saham sebagai upaya penguatan modal. Hal ini memberikan pondasi peningkatan pertumbuhan dan daya saing perusahaan hingga tingkat global.
Ketua Steering Committee IFSoc Mirza Adityaswara menjelaskan, memahami besarnya minat perusahaan teknologi, BEI pun mulai menyesuaikan regulasi sebagai bentuk dukungan terhadap perkembangan industri ekonomi digital Indonesia. Saat ini, sebanyak 7 dari 11 unicorn Asia Tenggara berasal dari Indonesia dengan total valuasi mencapai US$ 38 miliar. Hal ini membuat IPO perusahaan teknologi nasional memiliki peran strategis.
Menurut Mirza, perusahaan teknologi telah memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dan juga mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perusahaan teknologi melakukan berbagai inovasi melalui aplikasi transportasi, fintech, e-commerce , layanan pesan antar, edutech , hingga pendanaan UMKM (P2P lending ) sehingga roda ekonomi dapat terus berjalan di tengah pandemi Covid-19. Bahkan pemerintah telah memanfaatkan fintech untuk mendistribusikan insentif program Kartu Prakerja.
"Hal ini membuat perusahaan teknologi memiliki pertumbuhan yang sangat masif, sehingga membuat adanya kebutuhan akan modal tambahan. Namun saat ini, investor asing masih mendominasi dibandingkan investor lokal," terang dia.
Laporan Google, Temasek, dan Bain & Company menunjukkan sektor ekonomi digital berkembang pesat di Indonesia. Dari 70 start-up centaur dengan valuasi di atas US$ 100 juta yang berada di Asia Tenggara, 38% diantaranya berasal dari Indonesia.
Uniknya, sebagian besar perusahaan tersebut mengandalkan mekanisme pendanaan secara tertutup ( private placement ). Padahal dalam dua tahun terakhir, saham-saham perusahaan teknologi berperan positif dalam menggerakkan pasar modal, di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Tiongkok.
"IPO perusahaan teknologi nasional memiliki arti strategis bagi arah ekonomi digital Indonesia termasuk membuka akses lebih luas dan likuid bagi investor yang ingin ambil bagian dalam perkembangan industri ekonomi digital. Oleh karena itu, IFSoc memandang perlunya kebijakan yang tepat untuk memfasilitasi tercapainya potensi pertumbuhan dengan tetap mempertimbangkan kaidah perlindungan terhadap investor minoritas," tutur Mirza.
Steering Committee IFSoc Rudiantara menyampaikan bahwa IFSoc mendukung langkah BEI dalam menyesuaikan kebijakan untuk mengakomodasi perusahaan teknologi berskala unicorn dan decacorn untuk mencatatkan saham di Indonesia. Mewakili IFSoc, Rudiantara juga mendukung inisiatif papan akselerasi dari BEI untuk perusahaan teknologi non-unicorn agar mendapatkan akses pendanaan yang lebih terbuka baik dari investor dalam negeri maupun asing.
IFSoc menyoroti beberapa isu yang memerlukan penyesuaian kebijakan, antara lain banyaknya perusahaan teknologi dengan bottom line yang belum mencatatkan laba dan tanpa tangible assets bernilai besar seperti perusahaan konvensional, namun memiliki pertumbuhan bisnis yang tinggi. IFSoc berpandangan BEI dan regulator terkait dapat menyesuaikan parameter bagi eligibilitas perusahaan teknologi untuk melakukan IPO terkait performa bisnis, keuangan serta tangible assets namun tetap memperhatikan aspek kesetaraan bagi perusahaan konvensional.
Selain itu, perusahaan teknologi memiliki karakteristik untuk melakukan fundraising atau rights issue dengan intensitas yang cukup tinggi. Sehingga diperlukan penyesuaian kebijakan yang dapat mengakomodasi rights issue perusahaan teknologi secara periodik dengan intensitas yang wajar.
Hal ini menimbulkan konsekuensi bagi investor minoritas di mana kepemilikan saham mereka akan terdilusi dengan dilakukannya rights issue . Menurut IFSoc, penyesuaian kebijakan ini harus tetap mengedepankan keberpihakan kepada investor minoritas.
Satu isu penting lainnya adalah struktur saham di Indonesia belum menerapkan MVS. IFSoc berpandangan, diperlukan kriteria yang terukur terkait besaran voting rights yang dapat dimiliki oleh pendiri perusahaan untuk menyeimbangkan kepentingan investor minoritas.
Perusahaan teknologi juga perlu mengimplementasikan good corporate governance (GCG) dengan memperkuat struktur organisasi perusahaan dengan komite audit, divisi internal audit dan penunjukan komisaris independen sehingga setiap keputusan pendiri dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Di samping itu, perlu adanya komunikasi secara berkala kepada investor untuk menjelaskan peta jalan dan perkembangan perusahaan menuju kondisi keuangan yang sehat.
Sumber : INVESTOR.id
powered by: IPOTNEWS.COM