News & Research

Reader

Kesalahan Perencanaan Investasi: Mengganggap Diri Jenius Memilih Saham (Padahal Pasar Sedang Bullish)
Monday, January 30, 2023       14:07 WIB

Kesalahan pemodal yang mengganggap dirinya luar biasa pintar (jenius) dalam memilih saham sangatlah umum terjadi ketika ekonomi (bursa) baru pulih dari resesi yang parah. Karena bursa efek adalah  leading indicator , artinya pemulihan bursa akan mendahului pemulihan ekonomi, maka angka indeks harga saham akan bergerak mendahului pemulihan ekonomi.
Siapa pun yang berada di tempat yang tepat pada saat yang tepat, akan terlihat luar biasa cemerlang. Seorang pemain saham yang kebetulan membeli saham pada saat ekonomi baru pulih dari resesi terlihat bagai orang jenius, karena saham apa pun yang dipilihnya akan naik berlipat-lipat.
Bagi pembaca yang sudah cukup tua, tentu masih ingat bahwa IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) pernah mengalami kejatuhan yang sangat dalam, yang puncaknya pada akhir tahun 1997 dan awal 1998 akibat krisis moneter. Setelah mencapai dasar ( bottom ), indeks lalu bergerak naik kembali. Praktis semua saham bergerak naik, termasuk saham-saham yang fundamentalnya tidak terlalu baik.
Pada waktu itu, ekonomi secara  real  belum pulih ( recover ), tetapi indeks harga saham ( IHSG ) telah lebih dulu pulih ( recover ) karena saham merupakan  leading indicator  dari ekonomi.
Kejadian yang mirip terulang kembali pada tahun 2008 akibat mini-krisis kredit hipotek di Amerika Serikat. Pada waktu itu, ada kekhawatiran besar di kalangan pemodal bahwa efek beragun asset ( mortgage backed securities ) yang diterbitkan di Amerika Serikat akan mengalami gagal bayar ( default ). Efek beragun asset yang mula-mula terancam gagal bayar adalah efek beragun asset yang  underlying asset -nya kredit hipotek yang berkualitas rendah (dikenal dengan nama  sub-prime mortgage ).
Dengan teknik sekuritisasi yang canggih, dan juga memanfaatkan celah ( loopholes ) dalam standar akuntansi yang ada saat itu (FAS 125 dan IAS 39), aset kredit yang buruk ( sub-prime mortgage ) disulap menjadi surat utang berperingkat AAA dan  non-investment grade . Bagian aset yang  non-investment grade  ini lalu disekuritisasi ulang menjadi surat utang berperingkat tinggi bahkan berperingkat AAA.
Kekhawatiran gagal bayar kredit hipotek ini juga sampai juga pada efek beragun asset ( mortgage backed securities ) yang diterbitkan oleh pemerintah federal Amerika Serikat ( FNMA atau  Fannie Mae ) dan efek beragun asset yang diterbitkan oleh pemerintah pusat Amerika Serikat ( GNMA atau  Ginnie Mae ) yang selama itu dianggap tidak mungkin mengalami gagal bayar ( default ) karena dijamin oleh pemerintah AS.
Terakhir, adalah krisis ekonomi karena efek dari pandemi covid-19. Walau pun pandemi belum sepenuhnya usai, banyak pemodal yang bertaruh ( betting ) pada saham-saham perusahaan farmasi besar seperti Pfizer atau Merck yang memproduksi vaksin covid-19 telah melihat harga saham yang dibelinya meningkat tinggi.
Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahaya dari sikap terlalu percaya diri ( overconfidence ) karena mengganggap diri kita jenius dalam memilih saham ( stock picking ), padahal yang terjadi sebenarnya hanyalah pasar modal yang sedang marak ( bullish ) setelah dihantam oleh krisis besar.
Ada dua resiko yang timbul akibat sikap percaya diri yang berlebihan ( overconfidence ) tersebut. Pertama, akibat percaya diri yang berlebihan ( overconfidence ), kita cenderung melupakan diversifikasi portofolio, dan hanya berinvestasi pada satu atau beberapa macam saham saja. Kedua, akibat percaya diri yang berlebihan ( overconfidence ), kita cenderung menganggap hasil investasi ( return ) yang akan diperoleh sama tinggi atau lebih tinggi dari hasil investasi ( return ) sebelumnya.
Dalam kenyataannya, pasar modal bergerak mengikuti siklus semarak atau  bullish  ( boom ) dan siklus lesu atau  bearish  ( bust ). Tidak ada pasar yang bergerak semarak ( bullish ) terus menerus atau bergerak lesu ( bearish ) terus menerus.
Kepiawaian seseorang dalam memilih saham ( stock picking ) haruslah dilihat dalam satu siklus pergerakan harga saham, bukan hanya pada saat pasar saham sedang semarak ( bullish ) saja. Ibarat pasang surut air di pantai, pada waktu air sedang pasang naik, semua perahu akan terangkat naik. Tetapi pada waktu air sedang surut, akan menjadi jelas bahwa hanya perahu yang ada di kolam yang cukup berair yang masih mengapung.
 Oleh: Fredy Sumendap, CFA 

Sumber : IPS

powered by: IPOTNEWS.COM