JAKARTA, investor.id - Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka melemah pada Rabu pagi (16/4/2025). Hal itu karena pasarmenanti perkembangan terbaru dalam pembicaraan negosiasi dagang AS serta sejumlah rilis data ekonomi penting.
Berdasarkan data Bloomberg pada pukul 09.05 WIB di pasar spot exchange, Rupiah melemah 4,5 poin (0,03%) ke level Rp 16.831 per dolar AS. Sedangkan pada perdagangan Selasa (15/4/2025), mata uang rupiah sempat ditutup terkoreksi sebesar 40 poin (0,24%) berada di level Rp 16.826,5 per dolar AS.
Sementara itu, indeks dolar terpantau turun 0,35 poin menjadi 99,86. Sedangkan imbal hasil obligasi AS 10 tahun terlihat naik 1 poin di level 4,3%.
Dikutip dari Reuters, dolar AS bertahan pada level penguatannya pada Rabu pagi, setelah sempat mengalami tekanan jual selama beberapa pekan terakhir. Pasar terlihat mulai stabil, menanti perkembangan terbaru dalam pembicaraan dagang AS serta sejumlah rilis data ekonomi penting.
Fokus pasar hari ini tertuju pada data Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal pertama China dan serangkaian indikator ekonomi untuk bulan Maret. Meski bersifat historis, data ini tetap akan memengaruhi sentimen. Selain itu, perhatian juga akan mengarah pada pidato Ketua The Fed, Jerome Powell, serta keputusan suku bunga dari Bank of Canada yang saat ini diperkirakan memiliki peluang pemangkasan sekitar 40%.
Dolar Kanada tercatat stabil di level C$1,3948 per dolar AS, menguat sekitar 4% sepanjang April, mencerminkan bagaimana investor menghukum dolar AS akibat kebijakan dagang yang dinilai mengganggu kepercayaan pasar.
Sementara itu, euro yang pekan lalu sempat menyentuh level tertinggi dalam tiga tahun di US$1,1474, kini diperdagangkan pada level US$1,1311 di sesi Asia. Mata uang tunggal Eropa tersebut masih menguat lebih dari 4,5% sepanjang bulan ini, namun cenderung mengalami koreksi teknikal karena belum ada kemajuan signifikan dalam upaya menghindari tarif berat dari AS.
Poundsterling Menanjak
Poundsterling tampil menonjol dengan menyentuh level tertinggi dalam enam bulan di US$1,3254. Inggris sejauh ini belum menjadi sasaran tarif AS yang paling keras, dan pernyataan dari Wakil Presiden AS JD Vance semalam turut memperkuat optimisme tercapainya kesepakatan dagang. "Presiden sangat menyukai Inggris. Dia sangat menghormati Ratu dan mengagumi Raja," ujarnya.
Data inflasi (CPI) Inggris juga dijadwalkan rilis hari ini.Yen Jepang stabil di kisaran 142,85 per dolar AS, sementara indeks dolar AS yang sempat menembus angka 100 kini berada sedikit di bawahnya, tepatnya di 99,899 pada awal perdagangan Asia.
Franc Swiss, yang menjadi mata uang G10 dengan penguatan tertinggi sejak pengumuman tarif besar-besaran oleh Presiden Donald Trump bulan lalu, juga menguat pagi ini ke level 0,8184 per dolar AS.
Dolar Australia dan Selandia Baru yang pekan lalu mencatatkan reli mingguan terbesar sejak 2020, kini sedikit terkoreksi. Aussie berada di level US$0,6334 dan kiwi di US$0,5896.
Pasar juga mencermati kebijakan nilai tukar yuan China. Sejauh ini, China hanya sedikit melonggarkan batas perdagangan yuan meskipun diterpa tarif yang telah melampaui 100%. Pada Selasa, yuan justru menguat, yang jika berbalik melemah tajam bisa menjadi angin segar bagi penguatan dolar AS.
Pasar obligasi AS yang pekan lalu sempat panik kini mulai menunjukkan tanda-tanda stabil. Para pelaku pasar berharap korelasi antara imbal hasil obligasi dan kekuatan dolar bisa kembali pulih.
"Kami melihat bahwa jika hubungan imbal hasil obligasi AS yang lebih tinggi = dolar AS yang lebih kuat kembali terjadi, itu akan menjadi tanda normalisasi," kata Steve Englander, Kepala Riset FX G10 di Standard Chartered. "Jika pesimisme terhadap pertumbuhan mulai mereda dan kekhawatiran terhadap kebijakan tarif menurun, dolar AS bisa kembali menguat."
Sumber : investor.id
powered by: IPOTNEWS.COM