Subsidi Bahan Bakar Bakal Menjadi Korban Keterbatasan Anggaran Negara-negara Asia Tenggara
Thursday, July 04, 2024       15:18 WIB

Ipotnews - Tekanan anggaran memaksa pemerintah negara-negara di Asia Tenggara untuk memikirkan kembali subsidi bahan bakar. Namun langkah ini berisiko menimbulkan reaksi politik dan pukulan inflasi bagi perekonomian.
Thailand dan Malaysia telah membiarkan harga solar naik dalam beberapa minggu terakhir untuk meringankan beban keuangan negara karena harga minyak mentah global naik. Indonesia juga dikabarkan sedang mempertimbangkan untuk merasionalisasi subsidi bahan bakar demi mendanai program stimulus baru, termasuk program makan siang gratis.
Sejauh ini, langkah-langkah tersebut menghadapi banyak penolakan dari warga yang mengkhawatirkan kenaikkan harga kebutuhan pokok, mulai dari transportasi hingga makanan. Inflasi tetap menjadi risiko terbesar bagi perekonomian negara-negara Asia Tenggara karena dapat menimbulkan dampak politik.
Ketidakpuasan publik yang meningkat akan menguji keberanian para pembuat kebijakan dalam mencapai target pemotongan subsidi bahan bakar yang lebih luas demi melindungi peringkat investasi negaranya.
Laman Bloomberg, Kamis (4/7) melaporkan, popularitas Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin sudah merosot. Lonjakan inflasi juga melemahkan alasan untuk pemotongan suku bunga yang telah lama ia serukan kepada bank sentral Thailand.
Pengemudi truk Thailand berencana melakukan protes dan menuntut pemerintah mengembalikan batas harga solar menjadi 30 baht (USD0,82) per liter. Di Malaysia, anggota parlemen dari koalisi yang berkuasa pun telah mengkritik upaya reformasi subsidi bahan bakar, dengan mengatakan kebijakan tersebut akan menutup paksa banyak bisnis.
Di Malaysia, Perdana Menteri Anwar Ibrahim justru memuji manfaat ekonomi dari kehati-hatian fiskal. Ia mengutip afirmasi S&P Global dan Fitch Rating terhadap peringkat kredit Malaysia yang menurutnya mencerminkan seberapa baik pemerintahnya dalam mengelola ekonomi - yang menjadi acuan penting untuk menarik investor.
Menurut laporan Bank of America, Malaysia memiliki keuntungan dibanding negara-negara tetangganya karena subsidi bahan bakar hanya menghabiskan sekitar 2% dari produk domestik bruto pada tahun 2023 atau 35 miliar ringgit (USD7,4 miliar).
Penghematan per tahun bisa sangat besar setelah pemerintah menargetkan pengurangan subsidi bensin RON95 yang paling banyak digunakan di Malaysia, pada akhir tahun ini. Upaya itu akan menjadi krusial karena Malaysia masih berjuang untuk mengatur keuangannya setelah pandemi, yang bertujuan untuk mengatasi defisit anggarannya dari 5% PDB tahun lalu menjadi 3% pada tahun 2026-2028.
Harga energi yang lebih tinggi yang diakibatkan kebijakan itu kemungkinan akan membuat Bank Negara Malaysia untuk berpikir lebih keras ketika meninjau kebijakan moneternya minggu depan. Sementara itu, kewajiban senilai 110 miliar baht dalam dana minyak negara Thailand telah mendorong pemerintah untuk terus menaikkan batasan harga solar.
"Dengan adanya tekanan yang dighadapi  Oil Fuel Fund  dan pendapatan anggaran yang di bawah target tahun ini, sulit untuk mengesampingkan penyesuaian lebih lanjut pada harga solar setelah batasan 33 baht per liter saat ini berakhir pada 31 Juli," kata Krystal Tan, ekonom di Australia & New Zealand Banking Group.
Kekhawatiran inflasi akibat kenaikan harga pasti akan terjadi, terutama karena biaya energi tetap tidak stabil. Harga minyak telah naik lebih dari 10% dibanding harga awal tahun ini karena pembatasan produksi oleh OPEC + demi mengendalikan pasokan global. Meskipun subsidi atau batasan harga dapat melindungi konsumen dari beban biaya bahan bakar, tapi harus disesuaikan dengan pergerakan harga minyak mentah.
Menurut ekonom DBS Bank Ltd., Han Teng Chua, dengan harga solar yang lebih tinggi di Thailand, bertepatan dengan pemulihan pariwisata dan program pemberian uang tunai pemerintah, inflasi utama di negara itu bisa melonjak menjadi 0,9% untuk tahun 2024 dari -0,1% pada Januari-Mei.
"Kenaikan inflasi bisa menghalangi Bank of Thailand untuk melonggarkan kendali moneter dan mempertahankan suku bunga kebijakannya pada 2,5% untuk sisa tahun ini," kata Chua.
Untuk Malaysia, HSBC Holdings Plc memperkirakan inflasi utama sebesar 2,7% untuk tahun 2024 dan 3% tahun depan dari hanya 1,8% pada Januari-Mei. Bank sentral Malaysia membatalkan seruannya untuk pemotongan suku bunga sebesar 25 basis poin pada awal tahun 2025, dan melihat adanya kemungkinan jeda suku bunga yang lebih lama atau bahkan peluang kenaikan yang lebih besar.
"Kami yakin lebih banyak risiko kenaikan suku bunga akan muncul pada tahun 2025 setelah rasioanlisasi subsidi bahan bakar RON95 dimulai, juga seiring dengan kenaikan gaji pegawai negeri sebesar 13% mulai Desember ini," kata ekonom HSBC Yun Liu.
Meskipun kehati-hatian fiskal merupakan kunci kesehatan ekonomi, pencabutan subsidi terutama di negara-negara berkembang membebani rumah tangga yang paling merasakan dampaknya. (Bloomberg)


Sumber : admin