Meskipun Pasar Ekuitas Mengalami Guncangan, Valuasi EM secara Historis Masih Murah - Ashmore
Saturday, December 21, 2024       21:41 WIB

Ipotnews - Bursa saham Indonesia mengakhiri sesi perdagangan pekan ketiga Desember 2024, Jumat (20/12), dengan mencatatkan sedikit penguatan IHSG (+0,09%) di posisi 6.984, namun ambruk lebih dari 340 poin dibanding sesi penutupan akhir pekan sebelumnya di level 7.325. Investor asing membukukan arus keluar ekuitas sebesar USD311 juta sepanjang pekan lalu
 Weekly Commentary  PT Ashmore Asset Management Indonesia mencatat beberapa peristiwa penting yang mempengaruhi pergerakan indeks di bursa saham dalam dan luar negeri, antara lain;

Apa yang terjadi selama sepekan terakhir?
Ashmore mencatat sektor-sektor yang membukukan penurunan terbesar adalah sektor Bahan Baku dan Properti & Real Estat yang masing-masing ambles -8,21% dan -6,14%.
Kinerja terbaik pekan ini adalah pasar uang Indonesia (+0,08%) dan pasar uang AS (+0,06%) karena nada yang lebih agresif dari The Fed mendorong pasar global bereaksi secara spontan. Di sisi lain, terjadi koreksi berkelanjutan pada harga CPO (-7,74%), Indeks IDX30 (-6,14%) serta Bitcoin (-5,95%).
Ashmore juga mencatat, pekan ini, suku bunga Fed dipotong sesuai ekspektasi, namun nada yang lebih agresif dan proyeksi Fed pada suku bunga jangka panjang mengindikasikan pemotongan suku bunga yang lebih lambat dan lebih sedikit. "Data PDB triwulanan bahkan lebih tinggi dari perkiraan dan triwulan sebelumnya," tulis Ashmore.
Sementara itu Kanada mengalami inflasi inti dan inflasi tahunan yang lebih rendah, mempertahankan tren penurunan yang lambat. Sedangkan Eropa mengalami peningkatan sentimen, terutama karena Jerman menyelenggarakan pemilihan umum lebih awal dan meningkatnya ekspektasi terhadap kebijakan ekonomi yang akan mendorong investasi swasta.
"Inflasi tahunan sedikit lebih rendah dari ekspektasi tetapi merupakan peningkatan bulan kedua berturut-turut," imbuh Ashmore. Sedangkan Bank of England mempertahankan suku bunga sesuai ekspektasi.
Di Asia, Jepang juga mempertahankan suku bunga, namun mencatatan inflasi yang tertinggi sejak Oktober 2023 karena kenaikan harga pangan dan energi. China mengalami pertumbuhan produksi industri yang stabil namun angka penjualan ritel terlemah sejak Agustus.
"Indonesia mengalami suku bunga yang stabil seperti yang diperkirakan, namun neraca perdagangan jauh lebih tinggi dari ekspektasi karena ekspor yang lebih besar sementara impor tetap datar," papar Ashmore.
Ekuitas dan Obligasi EM Tetap Menarik
Ashmore mencermati, menjelang akhir tahun, pasar terus percaya pada kelanjutan penurunan suku bunga, namun Ketua Fed Powell memberikan nada terbaru yang lebih  hawkish  dan mengindikasikan pengurangan penurunan suku bunga dalam jangka panjang.
Pasar masih memperkirakan suku bunga akan turun pada tahun 2025 namun suku bunga terendah diperkirakan lebih tinggi sekitar 4% berdasarkan estimasi terbaru, dibandingkan dengan estimasi pada akhir November sekitar 3,75%.
"Artinya, pasar memperkirakan hanya akan melihat dua kali lagi pemangkasan suku bunga tahun depan, sejalan dengan proyeksi ekonomi terbaru The Fed. Proyeksi ekonomi terbaru ini 50 bps lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya pada bulan September untuk suku bunga 2025 dan 2026. Hak ini berdampak negatif pada ekuitas global dalam jangka pendek," ungkap Ashmore.
Selain itu, berita terkini di AS mengenai tenggat waktu Debt Ceiling yang semakin dekat (yang ditangguhkan pada pertengahan 2023 hingga Januari 2025) telah menimbulkan kekhawatiran karena rencana sementara yang diusulkan oleh Presiden AS terpilih Donald Trump telah ditolak oleh DPR. Ashmore melihat, meskipun masih ada waktu sebelum tenggat yang sebenarnya, hal itu tetap menjadi peristiwa yang berisiko pada penutupan sementara sebagian pemerintahan di AS.
Ashmore juga mencermati bahwa pasar AS telah melihat arus masuk yang besar, terutama sejak Red Sweep membawa kepercayaan yang lebih tinggi akan kegembiraanyang berkelanjutan, dan pasar telah memperkirakan penerapan kebijakan yang diusulkan Trump. "Hal ini semakin memperlebar perbedaan valuasi antara ekuitas AS dan seluruh dunia," sebut Ashmore.
Namun demikian, Ashmore menilai, kondisi ini memberikan peluang besar karena mayoritas ekuitas EM diperdagangkan dengan diskon besar. Melihat situasi saat ini, ekuitas AS diperdagangkan dengan premi yang sangat tinggi sementara mayoritas negara-negara EM (kecuali Taiwan, India, dan Thailand) diperdagangkan dengan diskon besar secara Price to Earnings.
"Ini sangat berbeda dibandingkan dengan awal masa jabatan pertama Trump di mana situasinya terbalik, aset negara-negara EM sebagian besar diperdagangkan sesuai atau di atas valuasi jangka panjang mereka," Ashmore menambahkan.
Ashmore memproyeksikan ekuitas EM tahun depan akan memperlihatkan  return  total 16% berdasarkan  forward earnings  12 bulan dibandingkan dengan estimasi laba 2024 selain imbal hasil dividen. Di pasar surat utang tingkat imbal hasil EM tetap menarik di sekitar 7,7% berdasarkan EMBI -GD yang berada di atas level median sepuluh tahun sebesar 5,5%, sebagai tambahan surat utang Negara EM tetap sekitar 340 bps di atas US Treasury.
Selain itu, Ashmore mengekspektasikan akan melihat peningkatan peringkat dari beberapa negara EM yang menjalani reformasi struktural. Oleh karena itu, Ashmore yakin bahwa investor akan tetap  overweight  pada obligasi EM, dimana Ashmore memproyeksikan imbal hasil tahunan untuk obligasi dolar negara-negara EM akan berada di sekitar 8,9% dalam skenario  soft-landing .
Ashmore menggarisbawahi, bahwa Indonesia diproyeksikan akan mencatatkan pertumbuhan PDB sekitar 5% pada tahun 2025, dengan menerapkan kebijakan Presiden Prabowo yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan dengan kerangka investasi yang efisien, selain menargetkan peningkatan sisi permintaan.
Inflasi masih dalam kisaran target Bank Indonesia meskipun berada di batas bawah berdasarkan data terbaru, sehingga masih memiliki ruang untuk lebih banyak penurunan suku bunga dengan tetap berhati-hati untuk menjaga stabilitas rupiah. Defisit fiskal kemungkinan akan tetap terkendali dengan berlanjutnya Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Ashmore juga melihat, imbal hasil obligasi Indonesia telah naik kembali di atas 7% untuk tenor 10 tahun, namun masih sekitar 65 bps lebih tinggi dari titik terendahnya pada bulan September dibandingkan dengan US Treasuries 10 tahun yang berada pada 4,54% atau 95 bps di atas titik terendahnya pada bulan September.
"Kami memperkirakan imbal hasil akan mulai turun karena penerbitan obligasi pada tahun 2025 kemungkinan akan tetap ketat. Meskipun pasar ekuitas mengalami guncangan dari sentimen global yang tidak stabil, namun tak bisa dimungkiri bahwa valuasi secara historis masih murah dengan rasio P/E saat ini sebesar 11,17x untuk saham berkapitalisasi besar dibandingkan dengan rata-rata tiga tahun sebesar 14,45x. Secara historis, 92% dari berjalannya waktu, kita jugamelihat reli ekuitas di bulan Desember sejak tahun 2000." (Ashmore)


Sumber : Admin