Intip Prospek Harga Minyak dan Industri Migas di Semester II-2024
Saturday, July 06, 2024       16:16 WIB

DXChannel- Morgan Stanley pada Rabu (3/7/2024) menurunkan perkiraanharga minyakdan memperkirakan surplus pasar pada paruh pertama 2024.
Lembaga ini juga mengatakan, pasokan non- OPEC tumbuh lebih cepat daripada permintaan tahun depan.
Bank Wall Street tersebut memangkas perkiraan harga Brent untuk kuartal ketiga tahun ini menjadi USD75 dari USD77,5 per barel dan menurunkan perkiraan kuartal keempat menjadi USD70 dari USD75.
Morgan Stanley juga memangkas perkiraannya untuk tahun 2024 sebesar USD5, dan sekarang melihat harga sebesar USD70 pada kuartal pertama, USD72,50 pada kuartal kedua, dan masing-masing USD75 dan USD80 pada dua kuartal terakhir.
"Meskipun investasi rendah, pasokan non- OPEC + telah tumbuh dengan kuat dan pasokan dari Iran dan Venezuela semakin tinggi. Kami memperkirakan pelemahan harga minyak akan terus berlanjut karena fokus pasar beralih ke paruh pertama 2024," kata bank tersebut dalam sebuah catatan.
Namun, penurunan persediaan pada kuartal ketiga yang disebabkan oleh pemotongan OPEC dapat membuat Brent tetap bertahan di level pertengahan USD70, kata bank tersebut.
"Banyak hal bergantung pada pemotongan sukarela tambahan dari anggota utama OPEC , namun dalam skenario dasar kami, pasar akan melemah pada kuartal keempat dan berubah menjadi surplus pada paruh pertama tahun 2024," ujar Morgan Stanley.
Minyak West Texas Intermediate (WTI) sudah menguat 2,33 persen dalam sepekan dan menguat 10,44 persen dalam sebulan. Sementara minyak Brent bergerak menguat 2,32 persen dalam sepekan dan 8,89 persen dalam sebulan.
Pada penutupan perdagangan Jumat (5/7/2024), harga minyak WTI ditutup turun 0,69 di level USD83,36 per barel dan minyak Brent turun 0,62 persen di level USD86,89 per barel.
Konsolidasi dan Ekspansi Migas di 2023
Meningkatnya suku bunga dan ketakutan akan resesi menghambat proses kerja sama, di sebagian besar perekonomian global pada 2023.
Namun, ada satu sektor yang tidak hanya menunjukkan ketahanan namun juga mencetak rekor baru yakni termasuk perusahaan minyak dan gas (migas) dan energi global.
Pada 2023, peristiwa geopolitik besar, termasuk perang Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung dan konflik baru antara Israel dan Hamas, terus membebani pasokan energi global.
Dengan berkurangnya akses terhadap minyak dari Rusia dan Teluk Persia, negara-negara Barat meminta bantuan dari Amerika Serikat (AS).
Menanggapi meningkatnya permintaan global, perusahaan minyak terintegrasi dari hulu ke hilir, berupaya memperluas inventaris mereka di Cekungan Permian.
Wilayah ini, yang membentang di Texas bagian barat dan New Mexico bagian tenggara, merupakan ladang minyak dengan produksi tertinggi di negara tersebut.
"Pasokan global berkurang lima hingga delapan persen dari kebutuhan. Perusahaan minyak menyadari bahwa produksi di Amerika Utara lebih penting dari sebelumnya, dan persediaannya terbatas. Mereka fokus pada Permian Basin, yang merupakan pusat pengeboran AS," ujar Global Head of Industrial, Energy, and Infrastructure Investment Banking, Pete Bowden.
Perusahaan-perusahaan energi global mencapai valuasi tertinggi di tahun lalu sejak 2016, dengan 1.135 transaksi yang menghasilkan nilai merger dan akuisisi (M&A) global senilai USD281 miliar, atau meningkat sebesar 8,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Pertumbuhan ini sebagian besar didorong oleh minyak dan gas Amerika, di mana produsen energi terbesar di dunia tersebut berupaya mengatasi kekurangan pasokan global.
Akuisisi dan kesepakatan tahun lalu mencapai puncaknya dengan serangkaian kesepakatan besar, termasuk kesepakatan Chevron untuk mengakuisisi Hess dan kesepakatan Exxon mengakuisisi Pioneer Natural Resources, dua transaksi terbesar pada 2023.
Di akhir 2023,industri migasmengalami konsolidasi yang signifikan dengan Chevron setuju untuk mengakuisisi Hess senilai USD53 miliar.
Tak kalah, raksasa migas AS ExxonMobil juga setuju untuk membeli Pioneer Natural Resources senilai USD59,5 miliar dan Occidental Petroleum berkomitmen untuk membeli CrownRock seharga USD12 miliar.
Tren ini berlanjut hingga 2024, dengan Diamondback Energy mengumumkan perjanjiannya untuk mengakuisisi Endeavour Energy Partners senilai USD26 miliar.
Transaksi-transaksi ini, yang seluruhnya terfokus pada kawasan ladang minyak Permian, dan mencerminkan upaya perusahaan-perusahaan minyak terintegrasi dan independen besar untuk meningkatkan cadangan mereka.
"Seiring dengan semakin banyaknya lokasi-lokasi utama di Permian yang diambil alih, lokasi yang sebelumnya dianggap sebagai lokasi pengeboran tingkat dua akan menjadi semakin penting. Mengingat kelangkaan global dan peran AS sebagai pusat pasokan minyak," kata Bowden.
Tantangan Industri Migas di 2024
Meskipun M&A di sektor energi kuat, meningkatnya skeptisisme terhadap antisipasi penurunan suku bunga pada 2024 dapat mengurangi minat perusahaan terhadap kesepakatan baru.
Inflasi yang terus-menerus dan pasar tenaga kerja yang kuat di AS selama ini telah menyebabkan beberapa ekonom meragukan penurunan suku bunga pada musim panas ini.
Namun, komoditas seperti minyak dan gas, yang biasanya merupakan komoditas lindung nilai terhadap inflasi, tidak selalu merespons perubahan suku bunga seperti aset lainnya.
"Saat ini, kita berada dalam kondisi yang tepat untuk pembuatan kesepakatan minyak dan gas. Ada keyakinan bahwa suku bunga akan turun dan aset menjadi lebih berharga. Bahkan tanpa penurunan suku bunga, pasar obligasi minyak dan gas akan terus berkinerja lebih baik. Harga akan tetap konstruktif, dan masih akan ada kesepakatan," kata Bowden.
Bowden mencatat bahwa kesepakatan besar dari perusahaan minyak terintegrasi menekan dunia usaha untuk bertransaksi. Dorongan ini mungkin menandakan dimulainya 'siklus super' dalam sektor minyak dan gas AS.
"Dengan konsolidasi industri, perusahaan-perusahaan yang tadinya merupakan perusahaan-perusahaan independen besar kini secara efektif menjadi perusahaan-perusahaan berkapitalisasi menengah, dan perusahaan-perusahaan berkapitalisasi menengah telah beralih ke perusahaan-perusahaan berkapitalisasi kecil," ujar Bowden.
Di sisi lain, meskipun transisi energi sedang berlangsung, transisi ini tidak dapat berjalan cukup cepat untuk mengimbangi kekurangan pasokan energi global saat ini.
Ketika konflik geopolitik, baik yang baru maupun yang sedang berlangsung, menciptakan hambatan bagi produksi minyak dalam negeri, perusahaan-perusahaan energi AS diperkirakan akan terus mencari peluang untuk meningkatkan produksi dan membangun cadangan.

Sumber : idxchannel.com