Masalah Lowflation Negara Maju Sudah Masuk ke Emerging Market, dengan Paradigma Berbeda
Tuesday, December 03, 2019       16:00 WIB

Ipotnews - Selama bertahun-tahun, inflasi rendah terlihat seperti masalah kalsik di negara maju, namun akhir-akhir ini makan banyak  emerging market  (EM) yang memiliki beberapa masalah serupa. Hal tersebut antara lain ditandai dengan respon sejumlah bank sentral terhadap permasalahan ekonomi negaranya, laiknya di negara maju; dengan menurunkan suku bunga.
Mereka memiliki lebih banyak ruang untuk melanjutkan kebijakan tersebut, namun kerap menghadapi hambatan untuk menerapkannya. Hambatan terbesar adalah masalah nilai tukar mata uang. Mata uang EM berfluktuasi tajam karena perpindahan modal asing yang seiring kebijakan moneter di negara maju.
Ketika bank sentral negara maju menaikkan suku bunga, modal asing akan keluar dari EM, menyebabkan pelemahan mata uang, dan berdampak besar terhadap tingkat harga di dalam negeri. Dampak kebijakan bank sentral negara maju, bisa lebih besar dampaknya di EM.
Perekonomian negara berkembang terpengaruh oleh, "kemurahan hati bank sentral negara besar," kata Nariman Behravesh, kepala ekonom di IHS Markit. Mereka memiliki "sedikit ruang untuk bermanuver," imbuhnya, seperti dikutip Bloomberg, Selasa (3/12).
Itulah salah satu sebabnya mengapa EM tak bisa tancap gas terlalu kencang. Mereka diharapkan untuk membantu ekonomi dunia dengan melonggarkan kebijakan moneternya lebih lanjut pada tahun 2020.
Tetapi para pembuat kebijakan di negara-negara seperti Meksiko dan Rusia, yang terbebani oleh krisis mata uang belum lama ini atau enggan memangkas biaya pinjaman - meskipun dengan inflasi yang berada di kisaran terendah dalam beberapa dekade.
Hasilnya adalah suku bunga yang lebih tinggi dibanding inflasi - dan mata uang yang kuat. Ini adalah kombinasi yang memikat bagi investor pemburu hasil investasi yang lebih tinggi.
Namun menurut Gabriel Sterne di Oxford Economics, upaya untuk menjaga kondisi kebijakan yang tidak perlu ketat dapat merugikan perekonomian. Pelajaran yang dapat diambil dari negara-negara maju, dengan laju inflasi secara konsisten selalu rendah, adalah, "jangan terlalu konservatif."
"Sangat sulit bagi bank sentral di  emerging market  untuk menerapkannya karena mereka terboiasa dengan inflasi. Setelah mendapatkan kredibilitas itu, Anda tidak akan ingin melepaskannya terlalu cepat," ujar Sterne.
Riset Goldman Sachs menunjukkan, Meksiko tergelincir ke dalam resesi tahun ini, dan Rusia belum mampu mencapai tingkat pertumbuhan di atas 3% di setiap kuartal sejak 2012, karena bank sentral kedua negara itu lambat memangkas suku bunga. Padahal keduanya memiliki ruang untuk melangkah lebih jauh, atau sama sekali tidak menggunakannya.
Para ekonomi mengekspektasikan, suku bunga acuan Rusia saat ini yang sebesar 6,5%, tidak akan turun jauh di bawah 6% pada tahun 2020. Sementara itu, laju inflasi sudah berada di bawah target 4% dan mungkin "mendekati 2% pada akhir tahun depan,'' jika pemerintah terus menghabiskan kurang dari yang dijanjikan, papar ekonom Goldman, Clemens Grafe.
Di Meksiko, "Tingkat bunga riil juga masih tinggi," dan "siklus pemotongan suku bunga lebih lambat dari yang diperkirakan," ujarnya.
Sedangkan di Turki (tempat perusahaan menumpuk gunungan utang dalam mata uang asing) dan Brazil, menurut Goldman, adalah negara-negara EM yang paling rentan terhadap pelemahan mata uang, jika menurunkan suku bunga lebih lanjut.
Brasil, khususnya, sudah berada pada tahap itu. Pimpinan baru bank sentral Brazil mengejutkan para  trader  pada tahun ini dengan kebijakan yang lebih longgar dari yang diharapkan. Tapi pekan lalu, dia harus membuat kejutan lagi - dengan masuk ke pasar valuta asing setelah mata uang Real mencapai rekor terendah.
Christopher Dembik, kepala global penelitian ekonomi makro di Saxo Bank mengatakan kondisi tersebut menggambarkan kasus untuk berhati-hati dengan "paradigma baru" yang dihadapi EM.
Lowflation  sebagian besar terkait dengan faktor struktural: penuaan penduduk, teknologi baru, dan tingkat utang," katanya. Pemotongan suku bunga dengan cepat tidak akan mengatasi masalah-masalah itu, tetapi "dapat menimbulkan volatilitas mata uang." Menjaga suku bunga pada tingkat yang tinggi juga memberi ruang untuk merespon, "jika 2020 merupakan tahun resesi global yang ditakuti semua orang."
Di beberapa negara berkembang, seperti Afrika Selatan, defisit anggaran yang besar dipandang sebagai penghalang untuk menurunkan suku bunga secara signifikan - bahkan ketika inflasi rendah.
Kebijakan fiskal tidak banyak menjadi masalah di Indonesia, yang membuatnya masuk dalam daftar negara-negara Goldman yang memiliki suku bunga riil yang tinggi (suku bunga acuan minus inflasi) - sehingga masih mempunyai ruang untuk untuk memangkas suku bunga.
Tetapi pada tahun lalu, Bank Indonesia harus banyak menaikkan suku bunga - bukan untuk mendorong inflasi yang bergerak mendatar atau menurun tajam, tetapi karena kejatuhan mata uang yang menyebar di EM. Tahun ini, BI telah beralih ke kebijakan pelonggaran karena rupiah cenderung stabil, tetapi tidak diharapkan menjadi sangat agresif. Salah satu hasilnya adalah: aliran masuk modal ke obligasi Indonesia.
Kepala Bank for International Settlements, Augustin Carstens mengatakan, bank sentral EM harus "memperhatikan ayunan nilai tukar," karena pelemahan mata uang bisa dengan cepat memicu inflasi. Sementara itu, penguatan mata uang dapat mendorong lonjakan kredit yang "berisiko terhadap stabilitas harga dengan rentetan yang panjang."
Carstens, mantan kepala bank sentral Meksiko, menyimpulkan bahwa EM tidak dapat mengelola semua pergerakan itu hanya dengan menaikkan atau menurunkan suku bunga. (Bloomberg)

Sumber : Admin