Perkembangan Data Makro Ekonomi dan Virus Covid Jadi Kartu Liar, Indonesia Siap Hadapi Tekanan Eksternal - Ashmore
Saturday, November 27, 2021       21:47 WIB

Ipotnews Bursa saham Indonesia mengakhiri pekan keempat November, Jumat (26/11), dengan mencatatkan penurunan tajam 2,06% ke level 6.561, jauh lebih rendah dari penutupan pada akhir pekan sebelumnya di posisi 6.720. Investor asing membukukan arus masuk ekuitas bersih sebesar USD20 juta dalam seminggu terakhir.
PT Ashmore Asset Management Indonesia mencatat beberapa peristiwa penting yang mempengaruhi pergerakan dana di pasar modal dalam dan luar negeri, antara lain;

  • Update Covid; pemberian vaksinasi Covid pekan ini telah mencapai 7,8 miliar dosis yang mewakili 3,3 miliar populasi, atau 42,7% dari penduduk jumlah global. Indonesia telah memberikan 227 juta dosis untuk 91 juta yang divaksinasi lengkap atau 33% dari total populasi.

  • Indeks PMI Manufaktur AS IHS Markit meningkat menjadi 59,1 pada November 2021, dari level terendah 10 bulan di 58,4 pada Oktober lalu, mengalahkan ekspektasi awal di level 59.

  • Penjualan rumah baru AS naik tipis 0,4% (mom) ke tingkat tahunan yang disesuaikan secara musiman sebesar 745 ribu pada Oktober 2021, setelah revisi turun pada September menjadi 742 ribu, dan di bawah perkiraan pasar sebanyak 800 ribu.

  • Rilis risalah rapat kebijkan The Fed menunjukkan bahwa sejumlah pejabat Federal Reserve menyebutkan bank sentral AS harus siap untuk menyesuaikan laju pembelian aset dan menaikkan suku bunga lebih cepat dari yang diantisipasi jika inflasi tetap tinggi. Ketidakpastian tentang prospek inflasi telah meningkat dan tekanan harga yang signifikan akan berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan sebelumnya karena hambatan pasokan yang terus-menerus.

  • Bank Rakyat China (PboC) mempertahankan suku bunga acuan untuk pinjaman perusahaan dan rumah tangga untuk 19 bulan berturut-turut di posisi 3,85% dan 4,65%, pada penetapan November. PBoC berusaha membatasi pengambilan risiko di sektor properti. Suku bunga pinjaman satu tahun (LPR) tidak berubah, sedangkan lima tahun tetap di 4,65 persen.

Dengan memperhatikan berbagai perkembangan selama sepekan terakhir, berikut ini catatan Ashmore dalam Weekly Commentary, Jumat (26/11);
Apa yang diharapkan pada tahun 2022?
Perkembangan terakhir dalam data ekonomi makro serta dalam masalah virus Covid mungkin menjadi kartu liar saat kita memasuki tahun 2022. Ashmore memaparkan, di bawah ini adalah peristiwa-peristiwa besar utama pada saat ini, yang kemungkinan akan menggerakkan indikator ekonomi makro utama:

  1.  Mutasi virus.  Pada titik ini kita telah melalui beberapa mutasi virus yang terjadi dalam dua tahun terakhir. Namun, dalam beberapa hari terakhir kita telah mendengar tentang varian baru dari Afrika Selatan yang sangat bermutasi, dan oleh karena itu dikhawatirkan vaksin akan menjadi tidak efektif. "Ini mungkin menyebabkan penguncian yang tidak terduga terutama dalam seminggu terakhir, ketika kita mulai melihat berita positif tentang pembukaan kembali perbatasan," tulis Ashmore.

  2.  Inflasi yang lebih tinggi secara struktural.  Beberapa pejabat The Fed telah berkomentar tentang bagaimana inflasi bertahan melebihi ekspektasi. Sejumlah anggota The Fed mengadopsi sikap yang lebih  hawkish  pada pekan lalu. Wakil Ketua Richard Clarida mengatakan ekonomi AS berada dalam "posisi yang sangat kuat" dan bahwa "mungkin tepat untuk berdiskusi tentang meningkatkan kecepatan" ( tapering ). Pada saat yang sama tampaknya harga energi kemungkinan akan tetap tinggi karena pasokan OPEC akan ketat hingga 2022.

  3.  Percepatan pemulihan ekonomi . "Jika dua skenario pertama tidak terjadi, kita akan melihat periode emas akselerasi pemulihan. Sebagai akibatnya, kita cenderung melihat inflasi tinggi yang didorong oleh pertumbuhan riil," ungkap Ashmore.

Apa artinya bagi Indonesia?
Ashmore menegaskan, bahwa Indonesia jauh lebih siap menghadapi tekanan eksternal di tahun-tahun mendatang. Angka vaksinasi di Indonesia tetap meningkat dan jumlah kasusnya rendah, sementara Pemerintah telah lebih siap melakukan pengurangan mobilitas jelang libur akhir tahun. Sementara itu, data makro ekonomi Indonesia sangat mendukung dengan neraca perdagangan yang surplus karena harga komoditas yang masih tinggi. "Hal ini kemungkinan akan mendukung neraca keuangan negara pada tahun 2022, sehingga memungkinkan Bank Indonesia untuk tidak terburu-buru dalam menyesuaikan dengan kebijakan fiskal. (Ashmore)

Sumber : Admin