Secara Fundamental Tak Dibenarkan Berinvestasi pada Saham dengan Valuasi Ekstrim Pada Saat Ini - Ashmore
Saturday, September 14, 2024       22:14 WIB

Ipotnews - Bursa saham Indonesia mengakhiri sesi perdagangan pekan kedua September 2024, Jumat (13/9), dengan membukukan sedikit kenaikan IHSG sebesar 0,18% di posisi 7.812, namun melaju sekitar 90 poin di atas sesi penutupan pekan sebelumnya di level 7.722. Selain itu, investor asing membukukan arus masuk ekuitas sebesar USD227 juta selama sepekan ini.
Pekan ini,  Weekly Commentary  PT Ashmore Asset Menagement Indonesia, menyoroti beberapa hal berikut:

Apa yang terjadi di minggu terakhir ini?
Ashmore mencatat, kenaikan IHSG pekan ini terutama dipimpin oleh lonjakan saham sektor Teknologi dan Properti & Real Estate masing-masing sebesar +16.85% dan +3.12%. Sementara itu, yang menjadi penghambat adalah sektor Industri dan Consumer Cyclicals yang merosot sebesar -1.18% dan -0.96%.
Di bulan ini kita juga melihat reli pada Bitcoin (+9.96%), tetapi masih mempertahankan tren turun secara keseluruhan sejak bulan Juni. Indeks Nasdaq (+5.27%) dan Indeks S&P 500 (+3.46%) juga mengalami kenaikan karena data AS menunjukkan kondisi yang menjanjikan untuk penurunan suku bunga sebesar 25 bps dalam waktu dekat. Sementara itu, Coal dan Shanghai Composite Index mengalami penurunan -4.91% dan -2.23%.
Ashmore menggarisbawahi, pada pekan ini, pasar AS melihat tingkat inflasi umum yang lebih rendah dari yang diperkirakan, meskipun inflasi inti bulanan sedikit lebih tinggi dari perkiraan. "Namun, hal ini mendorong reli di bursa AS dan meningkatkan sentimen karena kondisi untuk penurunan suku bunga sebesar 25 bps pada rapat The Fed mendatang menjadi lebih mungkin," tulis Ashmore.
Akan tetapi, berdasarkan data CME terbaru, ekspektasi pada rapat The Fed mendatang masih terbagi antara penurunan suku bunga 25 bps atau 50 bps, dengan yang pertama menjadi skenario yang lebih mungkin.
Ashmore juga mencatat, pada pekan ini Bank Sentral Eropa memangkas suku bunga sesuai ekspektasi, sementara itu Inggris mengalami pertumbuhan ekonomi bulanan yang stagnan, dua bulan berturut-turut. Di sisi lain, Jerman melihat angka inflasi yang lebih rendah di Agustus dibandingkan dengan angka inflasi pada Juli lalu.
Sementara itu, China mengalami sedikit kenaikan pada tingkat inflasi tahunan, di samping neraca perdagangan yang membaik dan lebih tinggi dari yang diharapkan, karena ekspor meningkat lebih cepat daripada impor. Jepang mengalami pemulihan dalam pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua meskipun tidak sesuai dengan ekspektasi. "Akhirnya, Indonesia melihat data yang lebih baik, dari kepercayaan konsumen yang lebih tinggi di samping pertumbuhan penjualan ritel yang lebih kuat," Ashmore manambahkan.
Investasi Value vs Growth di Indonesia
Melanjutkan topik pakan lalu mengenai strategi investasi, Ashmore mengajak untuk melihat kondisi di Indonesia, terutama tren yang telah kita lihat dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam beberapa pekan terakhir, Ashmore memaparkan, kita telah melihat pergerakan IHSG yang secara keseluruhan telah mencapai level tertinggi baru, namun hal ini tidak berarti bahwa semua saham akan mengikuti tren yang sama. "Dalam memilih investasi, kita harus mengetahui saham-saham yang telah berkontribusi terhadap tren ini serta belajar dari kejadian-kejadian di masa lalu," ungkap Ashmore.
Dalam sepuluh tahun terakhir, dengan melihat investasi Value dan Growth di Indonesia, Ashmore menekankan, terlihat jelas bahwa strategi Growth lebih unggul daripada strategi Value. Dengan melihat indeks MSCI Indonesia Value dan Growth sebagai perwakilan dari masing-masing strategi, dalam sepuluh tahun terakhirstrategi Value telah memberikan  return  kumulatif sebesar 10,51% (1,0% per tahun) jauh di bawah Growth yang memberikan  return  kumulatif sebesar 33,11% (2,9% per tahun).
"Karena kesenjangan ini, strategi Value akan tetap kurang diapresiasi, dan investor mencari saham-saham Growth sebagai gantinya," imbuh Ashmore.
Ashmore menjelaskan, berdasarkan definisi saham Growth itu sendiri, kita mengetahui bahwa saham-saham ini cenderung memiliki valuasi yang lebih mahal. Namun Ashmore melihat, saat ini ada fenomena baru di mana banyak saham Growth yang telah menunjukkan kinerja spektakuler, diperdagangkan dengan harga yang sangat mahal.
Dalam sepuluh tahun terakhir dari Agustus 2014 hingga Agustus 2024, di antara 30 saham teratas yang telah berkontribusi terhadap kenaikan Indeks IHSG , Ashmore melihat ada 21 saham di antaranya diperdagangkan dengan rasio P/E yang lebih tinggi daripada perkiraan rasio P/E Indeks IHSG 2024 (14,67x) dan kisarannya bisa mencapai 590x, yang merupakan angka yang cukup ekstrem.
"Ini akan sangat berisiko dan secara fundamental tidak dibenarkan untuk berinvestasi pada saham-saham dengan valuasi yang ekstrim terutama dalam kondisi saat ini," sebut Ashmore.
Untuk konteks ini, Ashmore berpendapat, sejak pandemi Covid, pasar saham Indonesia telah mengalami lonjakan investor ritel yang telah mendominasi perdagangan di pasar saham. Di sisi lain, institusi besar telah berinvestasi di Obligasi dan bukan diEkuitas, tetapi kita belum melihat pembalikan yang signifikan. "Mayoritas investor ritel kurang peduli dengan Value dan malah mengejar saham-saham Growth yang sedang tren, yang selanjutnya mendorong disparitas dengan saham-saham Value dan meningkatkan volatilitas," ungkap Ashmore.
Ketika siklus pasar berubah menjadi lebih kondusif, Ashmore meyakini, investor akan mencari saham-saham berkualitas dengan fundamental yang kuat, yang dapat ditemukan di saham-saham Value. Perlu diingat bahwa saham-saham dengan pertumbuhan yang luar biasa telah terlihat sejak beberapa tahun yang lalu di mana harga saham melonjak tinggi pada periode tersebut.
Namun ketika kita meninjau kembali saham-saham tersebut pada tahun 2024, Ashmore mendapati, bahwa banyak di antaranya yang sudah turun sekitar -90% dari puncaknya dan beberapa di antaranya bahkan  suspend  atau di- delisting  dari bursa. "Oleh karena itu, kami tetap percaya pada imbal hasil jangka panjang dan risiko yang terkendali daripada keuntungan jangka pendek dengan tingkat risiko yang lebih tinggi dan likuiditas yang lebih ketat," sebut Ashmore.
Ashmore berpendapat, kondisi secara keseluruhan tetap menarik untuk berinvestasi di saham dan obligasi Indonesia, karena kita terus melihat arus masuk bersih asing meskipun dengan kecepatan yang lebih lambat baru-baru ini. Katalis berikutnya dapat berasal dari penurunan suku bunga yang akan diantisipasi minggu depan, yang berpotensi membawa lebih banyak aliran dana asing ke dalam ekuitas dan obligasi Indonesia. "Hal ini telah lihat hal ini pada siklus penurunan suku bunga sebelumnya." (Ashmore)


Sumber : Admin

powered by: IPOTNEWS.COM