Ipotnews - Bursa saham Indonesia menutup sesi perdagangan pekan pertama Desember, Jumat (6/12), dengan mecatatkan peningkatan IHSG sebesar 0,95% ke 7.383, sekaligus membukukan kenaikan tajam dibanding akhir pekan sebelumnya di posisi 7.114. Namun investor asing masih membukukan arus keluar ekuitas sebesar USD41 juta sepanjanhg pekan.
Mencermati perkembangan selama sepekan terakhir, Weekly Commentary PT Ashmore Asset Management Indonesia menyoroti beberapa hal berikut;
Apa yang terjadi sepanjang pekan ini?
Ashmore mencatat, sektor yang berkinerja terbaik sepanjang pekan ini adalah sektor Energi dan Infrastruktur yang masing-masing melonjak sebesar +4,54% dan +4,30%. Sedangkan sektor yang tertinggal adalah sektor Transportasi & Logistik dan Consumer Cyclicals yang masing-masing merosot sebesar -1,34% dan -0,98%.
"Pekan ini kita melihat reli pada ekuitas global seperti yang terlihat pada Indeks IHSG (+3,77%), dengan Indeks Nasdaq (+2,51%) dan Indeks Shanghai Composite (+2,33%)," tulis Ashmore. Sementara itu, Ashmore juga mencatat, terjadi koreksi pada harga Batubara (-4,54%) dan Minyak Mentah (-1,62%).
Ashmore menambahkan, pekan ini kita juga melihat data lowongan kerja yang lebih baik dari perkiraan di AS, dengan sektor jasa profesional dan bisnis mencatatkan lowongan terbanyak. Kanada terus mengalami defisit neraca perdagangan, meskipun ada perbaikan.
Sedangkan kawasan Eropa tetap relatif lambat dengan data penjualan ritel yang lebih rendah, namun tingkat pengangguran dipertahankan pada level terendah dalam sejarah. Bersamaan dengan itu, indeks PMI Jerman terus menunjukkan kontraksi dan lebih rendah dari ekspektasi.
Di Asia, Jepang dan China merilis data PMI Manufaktur dan Jasa yang relatif datar dengan sedikit perubahan keseluruhan. "Sementara itu, inflasi utama tahunan Indonesia berada pada level terendah sejak Juli 2021, di sisi lain, inflasi inti tahunan terus meningkat dan menjadi yang tertinggi sejak Juli 2023," papar Ashmore.
Premi AS - Apakah akan tetap tinggi?
Ashmore mencermati, pekan ini, data lowongan kerja periode Oktober di AS tampil mengejutkan dengan data yang lebih tinggi dari ekspektasi. Hal ini sedikit menurunkan ekspektasi penurunan suku bunga pada Desember mendatang, dari 76% sebelum data tersebut dirilis, menjadi 67%, dengan latar belakang pasar tenaga kerja yang lebih kuat.
"Namun, jika kita melihat kerangka waktu yang lebih besar, maka kita akan melihat bahwa lowongan pekerjaan terus mengalami tren penurunan dari puncaknya pada Maret 2022," ungkap Ashmore.
Lebih jauh lagi, Ashmore berpendapat, data lowongan kerja bukanlah data utama yang akan menentukan keputusan The Fed, karena kita masih akan segera melihat data Non Farm Payrolls yang lebih kritis serta Tingkat Pengangguran untuk bulan November, yang saat ini diperkirakan akan menambah 200 ribu pekerjaan dan menghasilkan tingkat pengangguran 4,2%.
"Jika data berjalan sesuai konsensus, maka itu tetap menjadi kasus dasar untuk penurunan suku bunga pada bulan Desember," sebut Ashmore.
Ashmore menggarisbawahi, bukan berita baru bahwa dana global terus mengalir menuju AS sejak munculnya Magnificent 7 selain Red Sweep baru-baru ini. Terkait dengan Trump 2.0 yang akan datang, kita juga telah melihat kebangkitan dalam mata uang kripto seperti Bitcoin yang mencapai titik tertinggi baru (harga Bitcoin telah mencapai lebih dari USD100 ribu minggu ini).
Selain itu premi yang diperhitungkan dalam ekuitas AS serta pasar obligasi juga meningkat, dengan ekspektasi pertumbuhan yang lebih tinggi (Scott Bessent berbicara tentang rencana 3-3-3, di mana ekonomi AS akan didorong hingga 3%).
"Yang penting untuk diingat adalah bahwa imbal hasil obligasi tetap tinggi karena pasar menempatkan premi berdasarkan tingkat defisit fiskal AS yang tinggi (saat ini sekitar 6,4% dari PDB) yang tidak terjadi pada perekonomian besar lainnya," imbuh Ashmore
Sebagai perbandingan, Indonesia diperkirakan akan mengalami defisit fiskal 2025 sekitar 2,5% dari PDB, jauh di bawah AS. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, ini berarti pasar mengakui bahwa ekonomi AS berada pada posisi premium dibandingkan dengan negara lain di dunia.
Namun, akan seberapa tinggi premi tersebut? Apakah AS benar-benar dapat mempertahankan defisit yang begitu tinggi? "Powell menganggapnya situasi ini unsustainable , dan fakta menunjukkan bahwa pembayaran bunga merupakan bagian yang signifikan dari defisit," ungkap Ashmore.
Jika melihat valuasi pasar ekuitas AS, dengan menggunakan Indeks S&P 500 sebagai basis, menurut Ashmore, kita akan melihat bahwa rasio Price to Book ekuitas AS secara historis tinggi pada 5,28x, mendekati titik tertinggi yang dicapai pada Maret 2000 pada 5,53x.
Sebaliknya, Ashmore menunjukkan, di Emerging Market (merujuk pada Indeks emerging market MSCI ) dan ekuitas Indonesia (merujuk pada IHSG ), rasionya tetap kurang terapresiasi, dimana masing-masing pada 1,73x dan 2,00x.
Selain itu, secara keseluruhan, pasar telah memperhitungkan kebijakan Trump dan pertumbuhan yang tangguh di AS, yang mengakibatkan premi AS yang begitu tinggi, sementara EM tetap dinilai rendah. Akan tetapi, Ashmore melihat bahwa pertanyaan apakah premi AS dapat tetap tinggi masih terus dipertanyakan.
Sementara itu, sebenarnya masih ada tingkat ketidakpastian tentang implementasi kebijakan Trump. "Secara historis kita telah melihat Trump mendukung USD yang lemah serta suku bunga rendah, yang menunjukkan risiko penurunan yang lebih besar karena valuasi tetap mahal," sebut Ashmore.
Di sisi lain, saham Indonesia relatif tenang karena investor global lebih banyak mengambil pendekatan wait and see dalam menilai 100 hari masa jabatan presiden dan pemerintahan baru. "Oleh karena itu, kami melihat valuasi saat ini sebagai peluang yang baik untuk tetap berinvestasi dengan potensi kenaikan yang lebih besar." (Ashmore)
Sumber : Admin
powered by: IPOTNEWS.COM